Serunya menjalani kehidupan sebagai pengantin baru, terutama bagi seorang perempuan. Statusnya kini berubah menjadi seorang istri yang mulai disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga. Berikut cerita seru dari teman saya, Ika Kartikawati yang baru menjalani perannya sebagai seorang istri. Kita simak ceritanya sama-sama yukk..Sepertinya new mom wanna be ini perlu masukan dari para mommies.
Menurut sebagian besar laki-laki, seorang istri yang menjadi dambaan suami itu antara lain harus memiliki syarat: baik, setia, penyayang, penyabar, akur sama mertua dan pintar memasak.
Sebelum menikah saya sempat galau, benarkah menjadi istri harus pintar memasak? Sadar diri karena untuk kriteria yang satu ini saya nyaris tak memilikinya. Tapi kalau disuruh masak air atau mie instant rebus? Jangan bilang gosong ya ^_~
Terbersit di benak saya, kalau pasangan saya tahu, saya ini tak bisa masak, jangan-jangan dia mundur teratur! Duuh, gimana nih? Apalagi kalau pasangan saya itu menuntut istrinya pintar memasak. Waduh, pastinya saya gagal total jadi kandidat istrinya!
Sejak lulus sekolah kemudian kuliah, saya jarang ‘nyenggol’ yang namanya kompor. Berlama-lama di dapur saja sudah bikin saya keringatan, apalagi kalau harus memasak? Haduuuh kebayang semua peralatan dapur harus keluar. Dengan hasil yg memprihatinkan. Karena memasak itu menurut saya membutuhkan koordinasi, bagaimana caranya mencampurkan segala macam bumbu -yg entah apa saja nama dan fungsinya- dengan takaran yg pas dan waktu yg tepat agar kematangan dan cita rasa serta vitamin yg terkandung di dalamnya tetap terjaga (haiaah!!). Jangan lupa pake tameng supaya ga kecipratan minyak. Hadooh ribet ya. Harus diakui, menjadi seorang perempuan itu kodratnya memang harus pandai mengurus anak dan suami serta tangkas dalam urusan pekerjaan rumah tangga, termasuk masak-memasak.
Bersyukur saya menemukan laki-laki yang bersedia menerima segala kekurangan saya ini. Sejak masa pendekatan dulu, saya berusaha bersikap terbuka jujur mengatakan apa adanya, bagaimana diri saya, keluarga saya dan pekerjaan saya. Saat tahu saya tak bisa memasak, ternyata ia tak mempermasalahkan hal itu.
Setelah menikah, ternyata ketrampilan memasak ini mau tak mau harus dikuasai. Apalagi tidak ada asisten rumah tangga, meskipun terasa berat karena tak pintar memasak (tidak bisa memasak lebih tepatnya), namun saya tetap HARUS bisa bergelut dengan urusan dapur. Tak mungkin bila setiap hari harus membeli makan di luar, atau mencuci baju dengan menggunakan jasa laundry. Pekerjaan itu tetap HARUS BISA dikerjakan oleh perempuan.
Kenyataan inilah yang akhirnya memaksa saya untuk belajar memasak. Meskipun tak pintar memasak (sekali lagi, tidak bisa), setidaknya sebagai seorang perempuan, saya harus BISA memasak. Salah satu upaya saya adalah dengan membeli buku resep masakan. Walaupun ribet juga masak sambil bolak balik buku resep atau scroll atas bawah layar HP. Yang mengherankan adalah kebanyakan buku resep ketika memberikan takaran untuk garam atau bumbu lainnya selalu menggunakan kata “secukupnya”. Plis deh bisa lebih spesifik ga? Karena ketika memberikan takaran garam yg menurut saya cukup, semua bilang kurang asin. Lalu dimanakah standar “secukupnya” itu berada?
Ternyata, memasak itu pekerjaan yang lumayan melelahkan. Belum lagi harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Piring dan cucian kotor bertumpuk, pakaian yang belum disetrika pun menggunung! Ohhh tidaakk!!
Meskipun hasil masakan saya ala kadarnya dan ’sangat memprihatinkan’, namun setidaknya saya berusaha melakukannya. Masakan pertama rasanya tak karuan, masakan kedua agak gosong, ketiga kurang asin, dan keempat kuahnya kering. Coba lagi, lagi dan lagi. Toh, yang makan hasil masakan kan suami bukan saya hohohoho :evil grin
Menjadi perempuan bekerja sekaligus menjadi istri (apalagi nanti setelah punya anak), ternyata ketrampilan memasak ini MUTLAK dibutuhkan. Meskipun pasangan kita tak mempermasalahkan atau menuntut istrinya harus pintar memasak, namun setidaknya sebagai perempuan, kita harus bisa mengerjakannya terutama saat tak ada orang yang membantu kita di rumah.
Yuuuuk kita belajar memasak!
Written by : Ika Kartikawati on Tuesday, 7 August 2012 at 10:57
Written by : Ika Kartikawati on Tuesday, 7 August 2012 at 10:57
Kata "secukupnya" buat saya malah yg paling tepat. Karena lidah keluarga kan beda2, jd biarkan masing2 yg masak yg menyesuaikan kondisi keluarganya.... Krn kadang buat kita sdh cukup asin, yg makan bilang kurang asin heheheh.....
ReplyDelete